Jumat, 02 April 2010

Gerimis Makassar

L
angit Makassar disaput mendung. Hujan turun satu- satu. Kemarau terlibasi. Irama tak – tik – tuk diatap terdengar riuh melenakan. Bait – bait nadanya seperti simponi kesejukan yang dating bersama angin yang berkesiur basah.
Kegelisahan ikut terangkati. Larut ditelat butir – butir bening kemilau yang memantulkan suatu kenangan semusim lalu.
Ya, kenangan semusim lalu.
Nayma mengusap kaca jendela yang di burami embun.
Akhir- akhir ini Makassar memang sering dirundung mendung. Sebuah nuansa alam yang rentan menghadirkan perasaan melankolik. Ah ….
Ditengoknya bangsal pria. Pasien – pasien tengah asyik dalam dengkurnya yang pulas. Cuma ada beberapa yang mengerang manja. Tapi segera diam kembali begitu tak ditanggapi.
Nayma menatap keluar.
Semusim lalu , ya, semusim lalu. Hujan kecil – kecil begini pula ketika cerita itu memulai tualangnya. Dalam irama yang membuai perasaan.
Ia seperti mendengar kembali erangan lirih itu. Dari ujung sana, tepat disisi tembok sebelah timur.
Bergegas ia kesana. Mencari tahu. Oh, rupanya pasien kecelakaan lalu lintas yang baru masuk tiga hari lalu. Dicermatinya sesaat. Tak ada yang keliru. Ia baru saja hendak bertanya ketika disadarinya pasien itu ternyata sedang tidur.
Berarti tadi Cuma igauan.
Hh, nayma menghela nafas. Diperhatikannya wajah lelap dihadapanya. Hmm. Seraut wajah tampan yang lembut, tapi tegas. Ada semangat terpantul dari situ. Hidungnya yang kukuh- mancung, alis tebal yang merimbun tertib, dan bibir yang tipis namun padat, oh, pasti ia selalu menjadi pusat perhatian gadis – gadis.
Ia baru hendak beranjak , ketika di dengarnya sebuah teguran. “ suster”.
Rupanya ia telah bangun.
“ ya?” sahut nayma lembut.
“ aku haus. Tolong . . .”
Cepat nayma mengambilkan air minum. Dan cowok itu meraihnya dengan ucapan terima kasih.
Ia mencoba duduk. Ditengoknya keluar. Suasana masih mendung kelabu. Wajahnya kembali menoleh ke nayma.
Nayma memberikan seulas senyum. “ bagaimana perasaanmu, sudah membaik ?”
“ rasanya begitu”.
“ baguslah. Itu akan mempercepat penyembuhan.”
Cowok itu menatap teraan nama di dada nayma.
“ namamu nayma?” tanyanya.
Nayma mengangguk.
“ aku reza. Cukup panggil rez saja,” ucapnya langsung memperkenalkan diri dalam pesan yang sangat wajar. “ kau yang bertugas sore ini ?”
“ ya,” sahut nayma.
Cowok itu menatapnya lagi. “ sudah kelas berapa?”
Nayma tersenyum malu. Ia meraba teraan namanya, lalu berkata pelan. “ kalau ini warnanya hijau, berarti kelas tiga. Kalau kuning , kelas dua, dan kalau merah, kelas satu.”
“ berarti kau sudah kelas tiga ya? Sebentar lagi tamat dong !”
Nayma merunduk sipu. “ kalau mas sendiri?”
“kuliah.”
“Di jurusan apa?”
“ Komunikasi.”
Ditengoknya arloji. “ Wah,” katanya,”Sudah waktunya membuat laporan pasien. Aku akan mengontrol dulu, ya?”
“Silahkan.”
Nayma pun bangkit.
Di luar, hujan masih turun satu – satu.

Hari – hari berikutnya, pasien itu menjadi pasien favoritnya.
“Kok bisa jadi begini,Mas?” Nayma mengganti perban di betis cowok itu.
“Biasa, kecelakaan.”
Nayma kembali tersenyum. “ Pacar Mas, sudah diberitahu?”
“ Tahu dari mana kalau aku sudah punya pacar?”
“Ah, masak seperti Mas ini belum punya pacar. Pasti-lah!”
Cowok itu tertawa.” Siapa bilang aku sudah punya pacar?”
“ Jadi belum?” nayma terperangah.
“Yap!”
“ ah, masak ?”
“ iya. Alasan cewek – cewek itu serupa : uh, mas reza tidak pernah konsekuen soal waktu, mas reza tidak pernah punya waktu, mas reza lebih mementingkan berita – berita konyol itu ! uh-uh-uh !” cowok itu tertawa.” Habis mau gimana lagi ? memang profesi wartawan kan ya begitu itu. Jadi mereka dong yang harus mengerti.” Iya kembali tertawa.”
Nayma ikut tertawa.
“ aku doakan deh moga – moga bisa dapat gadis yang ,mas dambakan. Biar selalu bahagia !”
“ thanks.”

Tiga hari kemudian, keadaan cowok itu mulai menunjukan perubahan yang berarti. Makin baik. Pelan – pelan ia mulai melepaskan kruknya.
Nayma tersenyum melihatnya.
Cowok itu memandangnya sendu.
“ sebenarnya aku sedang sedih.”
“ oh, kenapa?”
“mungkin besok aku meninggalkan rumah sakit ini.”
Leher nayma tersekat. Ada desir asing yang sekonyong – konyong mengganggu perasaannya. Hek! Itu berarti kami harus segera berpisah? Kami?
o-o! nayma tiba – tiba merunduk. Berbagai perasaan sperti saling tempur dihatinya, tergenang dalam bauran yang sukar untuk dipahaminya. Semburat warna – warni seperti membias begitu saja, tanpa aturan yang sanggup menenteramkan dan menerang- jelaskan tampukharapan yang ditengah menari dihatinya.
“ nayma, ini berarti kita akan berpisah, kan?” suara yang berat dan serak.
Nayma tak menyahut. Lidahnya kelu. Apakah kami memiliki perasaan yang sama?
“ selama disini, aku merasakan suatu kebahagiaan dirawat olehmu. Takkan ku lupakan ini. “
“ aku …., “ nayma menelan ludah.” Itu sudah tugasku, rez.”
“ bagiku lebih dari sekedar tugas.”
“oh, aku tidak mengerti. “
“tidak perlu. Cukup kau tahu betapa aku selalu merasa bahagia berada disisimu.”
Nayma memejamkan mata karena haru. Hatinya tersentuh. Berbunga – bunga . dan meletupkan harapan yang kian mengembang. Apakah ini berarti ia pun…
“ suster! Tolong ! dia muntah - muntah lagi!” tiba – tiba terdengar teriakan dari belakang, membuat nayma bergegas melepaskan diri dari sentuhan reza.
“ aku pergi dulu, ada pasien gawat,” katanya tergesa.
“ ya, “ reza cepat mengangguk.”selamat bertugas, suster!”
Nayma tak sempat lagi memberikan seulas senyum manis.
Padahal ia ingin sekali melakukannya untuk reza.

Dan hujan turun lagi. Tempat tidur disisi tembok sebelah timur itu telah kosong. Nayma menatap sedih. Ia telah pergi, bisiknya lungkrah. Meninggalkan harapan yang terus menyemai dihatiku. Bagaimana aku dapat bertemu dengannya lagi ? Aku tak tahu ia dimana, sedang apa, dan bagaimana keadaannya. Barangkali telah ada gadis lain yang menjadi perawat pribadinya sekaligus menempati sebuah ruang khusus dihatinya. Oh, my God !! bisik hati Nayma kecewa bercampur putus asa.

Dua minggu kemudian, Pos jaga rumah sakit mengumumkan sesuatu.
“ Kepada siswa Nayma, sekali lagi, kepada siswa Nayma, harap segera ke piket. Ada surat!”
Nayma yang tengah berbicara dengan Mona, segera berlari menuju pos piket. Begitu menerima sepucuk surat, dadanya langsung berdebar. Betapa tidak ? nama sang pengirim amat ia kenal.
Setengah berlari pula ia kembali ke kelas. Menyudut ke pojok sepi, lalu mulai membukanya.
Oh, ternyata sepucuk kartu.
Cantik dan artistic modelnya.
Hanya dua baris kalimat tertera di dalamnya :
Untuk Nayma yang manis,
Thanks ya atas segalanya.
Reza.
Tapi itu sudah cukup membuat Nayma nyaris melayang.
Nayma membacanya berulang – ulang. Dan tak bosan – bosan.

“Nayma, ada surat dari ibumu!”
Nayma segera menerimanya. Dari Sengkang. Sebuah daerah kabupaten di timur Makassar yang terkenal dengan Danau Tempe-nya.
Nayma anakku, sebenarnya ini sangat berat untuk ibu katakan. Tapi tak apalah. Sebab semua juga tergantung padamu.
Begini, ada seorang pemuda datang melamarmu. Anak Pak Bani, itu, yang tinggal di dekat masjid. Namanya Andi idris. Masih ingat, kan ? dulu dia suka main ke rumah. Sekarang dia sudah Insinyur. Katanya sudah lama ia tertarik padamu. Tapi segalanya tergantung padamu. Menurut ibu tidak ada salahnya kau pertimbangkan. Toh sekolahmu hamper selesai. Kalau mau lanjut ke kebidanan atau S-1 keperawatan, kata Idris, ia pun sanggup menunggu. Ia hanya ingin kalian di ikat saja dulu dalam pertunangan. Itu saja. Ibu menunggu jawabanmu. Terima, atau tidak. Salam dari ibu dan adik – adikmu.
Nayma melipat kembali surat itu. Ia ingat Andi idris. Seorang cowok yang baik, sopan, dan ramah. Wajahnya pun cakep. Hitam manis. Dalam usia yang relative masih muda, ia sudah berhasil meraih gelar insinyur. Wuuu… bukan main. Tapi . . . .
Bayangan Reza memintas dimatanya. Ah . yakin, amat yakin bahwa cowok itulah yang kini jadi pilihannya. Dan ia sungguh tak ingin kehilangannya.
Sekarang ia tahu apa keputusannya.
Ditariknya secarik kertas. Ia akan segera membalasnya. Dan jawabannya sudah pasti : TIDAK.
Ia sedang menanti kehadiran Reza malam nanti yang telah berjanji untuk mengajaknya kencan ke rimba kota.

Reza tidak mengingkari janjinya. Tepat pukul tujuh ia muncul. Begitu keluat menjumpai Reza, ramai – ramai teman – teman seasramanya bermanis senyum.
“ Jangan lupa looo . . .!” kata mereka kompak,” Sekotak Terang bulan yang di Urip sana juga tidak bakal di tolak kok!”
Malam itu mereka nonton di Mal Ratu indah. Lalu mampir di kafe tenda seputaran pantai Losari yang menyajikan masakan seafood yang lezat. Ditambah minuman sarabba dan penganan pisang epe sebagai penutup. Semilir angin pantai yang hangat menambah hangat hati mereka. Pada saat itulah, Reza dengan amat lembut mengungkapkan perasaannya.
“Sebenarnya ini sudah lama aku rasakan. Aku sungguh tidak bisa melupakanmu. Sampai aku yakin bahwa aku memang telah terpikat padamu.”
Dada Nayma serasa mao meledak. Rasanya atap tenda yang menaungi kepalanya seperti mekar dan lepas. Air laut seperti naik dan mengalasi kakinya hingga ia tak berpijak di bumi. Lampu – lampu kapal yang membuang sauh di laut Sulawesi tampak berkedip – kedip. Dan hatinya pun meriap – riap di atas temaram remukan laut. Cahaya kota Makassar yang gempita seperti bertepuk tangan untuknya.
Kini tak ada lagi keraguan. Reza adalah segalanya.

Hari- hari berikutnya adalah hari – hari merah jambu yang takkan mungkin dilupakannya sepanjang hidup. Menginjak bulan kelima, nayma mulai gelisah. Reza sudah jarang muncul. Kalau sekadar jarang sih, nayma maklum akan pekerjaan cowok itu sebagai wartawan. Tapi ini … ya ampun , ia tak muncul – muncul sampai hamper sebulan!
Nayma benar – benar gelisah. Dan sedih. Hatinya terasa ditusuk – tusuk. Dan ini membuat wajahnya senantiasa murung.
“coba kau susul ke kantornya, atau ke kampusnya. Sekadar Tanya apa salahnya, kan?” saran ratih.
“ apakah mungkin ia tak lagi di kota ini?” Tanya nayma masgul.
“lebih baik ditanya dulu deh.”
“tapi…, “ nayma menggigit bibirnya. “kalau memang benar, kenapa ia tak mengabariku? Sekadar pamit kek…”
“ barang kali ia tak sempat lagi, ma. Cobalah , sekalian kau Tanya kemana ia pindah.”
Keesokan harinya nayma pun berangkat ke kantor redaksi Koran tempat reza bekerja.jawaban yang ia dapatkan adalah :
“ kami juga heran, sudah lama reza tidak masuk. Yang kami tahu bahwa kuliahnya sudah selesai. Tanpa babibu, eh, malah kabur!”
Itulah awal kekecewaan nayma. Ia telqah mengabaikan apapun demi mempertahankan cintanya. Ia telah membuat harapan ibunya tertebas dengan menolak tawaran pertunangan andi idris. Ia telah melakukan apa saja .demi reza. Demi mengejar mimpi masa remajanya. Namun…..

Hujan masih turun satu- satu. Iramanya semakin jelas terdengar. Mengurai kenangan jadi berkeping- keeping. Meneteskan lagu sedih dengan nada yang tertatih – tatih. Langit Makassar seperti menyenandungkan lagu pilu yang mengiriskan hati. Tak ada lagi cahaya, tak ada lagi gemerlap harapan.
Nayma beringsut dari tempatnya. Lalu melangkah ke sal A. tempat tidur di sisi tembok sebelah timur itu kini diisi seorang laki- laki tua pasien operasi usus buntu. Nayma segera memalingkan muka . tapi tiba - tiba saja mengerang sakit.
Bergegas nayma kesana. Memeriksa disana sini. Ternyata tak ada yang keliru. Di tengoknya wajah sang pasien. Oh, rupanya ia sedang tidur.
Berarti tadi Cuma igauan.
Nayma menghela nafas. Sebelum akhirnya melangkah pergi. Ada sebutir embun jatuh di pipinya.


Oleh :Bambang Sukmawijaya
Sumber : Sumber : Kartini No. 2266

0 komentar:

Posting Komentar